Suraqah bin Malik
September 15, 2008 by abughifari  
Saat akan melabrak Rasulullah, tiba-tiba kaki kudanya tak bisa bergerak. Dia sendiri terlempar dari punggung kudanya.
Ketika  mendengar berita bahwa petinggi Quraisy menyediakan hadiah seratus ekor  unta betina muda yang hampir beranak bagi yang bisa menangkap Muhammad  bin Abdullah hidup atau mati, Suraqah bin Malik, dari Desa Madlaji,  tergiur. Betapa tidak, untuk bisa memiliki unta sebanyak itu dalam waktu  singkat, uh, mimpilah adanya. Kini, orang bisa mendapatkannya hanya  dengan menyerahkan Muhammad. “Apa susahnya?” pikir Suraqah.
Apalagi,  baru saja ada orang yang mengaku melihat Nabi Muhammad bersama Abu  Bakar dan seorang pemandu di tengah jalan. “Tidak mungkin,” bantah  Suraqah. “Mungkin itu orang yang sedang mencari ternaknya.”
Saat  itu, pencarian terhadap Nabi Muhammad memang sedang digalakkan oleh Abu  Jahal dan para petinggi Quraisy. Bahkan serombongan pemburu telah  sampai di pintu Gua Tsur, tempat persembunyian Nabi bersama Abu Bakar.  Tapi karena di pintu gua terbentang sarang laba-laba, mereka menjadi  ragu. “Tidak mungkin tempat ini telah dilalui manusia,” pikir mereka.
Di  dalam gua, Abu Bakar telah ciut nyalinya. Para pencari itu berada di  gua tepat di atas kepala Abu Bakar, dan ia merasakan pijakan kaki mereka  mondar-mandir mencari sasarannya. Air mata Abu Bakar meleleh di pipi  menahan ketakutan.
“Mengapa engaku menangis, Abu Bakar?” tanya Nabi berbisik di telinga sahabatnya itu.
“Demi  Allah, aku menangis bukan mengkhawatirkan kondisi keselamatanku,  melainkan cemas bila terjadi sesuatu menimpa diri Tuan, ya Rasulullah,”  jawab Abu Bakar.
“Jangan takut,” jawab Rasulullah membesarkan hati sahabatnya itu.. “Sesungguhnya Allah beserta kita.”
“Seandainya mereka melihat ke tempatnya berpijak, pasti akan melihat kita,” kata Abu Bakar, masih dengan nada khawatir.
“Apakah engkau masih ragu, Abu Bakar?” tanya Rasulullah. “Kalau kita ini berdua, Allah-lah yang ketiga.”
Ya,  saat itu Nabi Muhammad sudah dalam kondisi terpepet. Semua akses jalan  keluar Makkah telah diblokir kaum Quraisy, sehingga Gua Tsur itulah  satu-satunya tempat yang bisa digunakan untuk bersembunyi. Abu Jahal,  yang berada dalam rombongan itu, menyatakan keyakinannya bahwa Nabi  Muhammad tidak berada jauh dari tempat itu. “Muhammad pasti mendengar  ucapan kita dan melihat apa yang kita lakukan. Tapi sihir Muhammad  menutup penglihatan kita,” katanya.
Akhirnya  para pembesar Quraisy putus asa dan menghentikan pencariannya terhadap  Rasulullah dan Abu Bakar. Lalu mereka menyebar sayembara untuk menangkap  Nabi Muhammad.
Walaupun  membantah informasi yang dikatakan salah seorang yang melihat Nabi  Muhammad, Suraqah menggunakan ucapan orang tadi sebagai sumber info.  Demi mendapat seratus ekor unta, dipacunya kudanya sekuat tenaga menuju  ke sasaran yaitu lembah yang ditunjuk orang itu.
Dan  terbukti, di sana ia melihat buruannya, Nabi Muhammad dan Abu Bakar.  Namun ketika berusaha mendekati Nabi, tiba-tiba kudanya tersandung  sehingga Suraqah terpelanting dari pelana. “Kuda sialan!” bentak  Suraqah.
Tanpa  mempedulikan rasa sakit, ia kembali ke punggung kuda dan memacunya.  Namun untuk kedua kalinya kuda itu tersandung dan lagi-lagi Suraqah  terpelanting.
Hatinya  kesal dan merasa dirinya sial. Karena itu ia mengurungkan niatnya dan  berencana akan pulang ke rumah. Tapi karena tamak, ingin mendapatkan  seratus ekor unta betina itu, diteruskannya perburuan tersebut.
Belum  begitu jauh Suraqah memacu kudanya, dilihatnya Nabi Muhammad dan Abu  Bakar tengah melaju meninggalkan Makkah. Secara refleks tangannya  mencoba meraih busur panah di punggungnya. Namun, apa daya….tangan itu  tiba-tiba kaku, tak bisa digerakkan. Dan kaki kudanya terbenam ke dalam  pasir serta menyebarkan debu yang menyebabkan matanya kelilipan. Ketika  berusaha menyentakkan kakinya, sang kuda tidak bisa bergerak satu inci  pun, dan kakinya itu malah semakin terbenam ke bumi.
Dia  lalu berpaling kepada Rasulullah dan berteriak dengan memelas, “Hai  kalian berdua, berdoalah kepada Tuhanmu, supaya kaki kudaku lepas. Aku  berjanji tak akan menggangu kalian berdua.”
Rasulullah  menengadahkan kedua tangannya dan berdoa, maka bebaslah kaki kuda  Suraqah. Tapi, karena tamaknya, setelah bebas, dia lupa akan janjinya  dan berusaha melabrak Rasulullah dengan kudanya. Namun, niat itu tidak  terlaksana, karena kaki kuda itu kembali terbenam ke bumi, bahkan lebih  dalam lagi.
Suraqah  memohon belas kasihan kepada Rasulullah.”Ambillah perbekalanku, harta,  dan senjataku. Aku berjanji atas nama Allah kepada kalian berdua, akan  menyuruh kembali setiap orang yang berusaha melacak kalian,” katanya.
“Aku  tidak butuh hartamu,” jawab Rasulullah. “Cukup kalau kamu suruh kembali  orang-orang yang berusah membuntuti aku.” Kemudian Rasulullah berdoa,  dan bebaslah kaki kuda Suraqah.
“Demi  Allah, aku tidak akan mengganggumu lagi,” kata Suraqah setelah kaki  kudanya lepas. Setalah itu ia bahkan menyatakan keyakinannya, “Agama  yang Tuan bawa akan menang dan pemerintahan Tuan jaya. Aku mohon apabila  kelak aku datang kepada Tuan, Tuan akan bermurah hati kepadaku.  Tuliskanlah hal itu untukku.”
Rasulullah  meminta Abu Bakar menulis pada sekerat tulang dan menyerahkannya kepada  Suraqah sambil berkata, “Bagaimana jika pada suatu saat kamu memakai  gelang kebesaran raja Persia?”
“Gelang kebesaran raja Persia?” tanya Suraqah terkejut.
“Ya, gelang kebesaran Kisra bin Hurmuz!” jawab Rasulullah meyakinkan.
Setelah  itu Suraqah kembali ke Makkah dengan hati lega. Kepada orang-orang  Quraisy yang ditemuinya sepanjang jalan, ia meyakinkan bahwa usaha  pencarian mereka terhadap Nabi Muhammad akan sia-sia. “Telah kuperiksa  seluruh tempat dan jalan yang mungkin dilaluinya, namun aku tidak  menemukan Muhammad,” katanya. “Bukankah kalian tidak sepandai aku dalam  hal melacak jejak?”
Beberapa  saat kemudian, ketika ia merasa Rasulullah telah selamat sampai di  Madinah dan aman dari jangkauan orang-orang Quraisy, barulah ia  mengatakan yang sebenarnya.
Begitu  Abu Jahal mendengar pengakuan itu, dia mencela Suraqah dan menghinanya  sebagai pengecut yang tak tahu malu, dan bodoh, karena menyia-nyiakan  kesempatan emas.
Namun  Suraqah tak mau dihina seperti itu. “Demi Alah, kalau engkau melihat  dan mengalami peristiwa yang aku alami ketika kaki kudaku amblas ke  dalam pasir, engkau pasti yakin dan tak ‘kan ragu sedikit pun bahwa  Muhammad itu jelas Rasulullah! Siapa yang sanggup menantangnya,  silahkan!”
Waktu  terus berlalu. Nabi Muhammad yang tadinya hijrah meninggalkan Makkah  dengan sembunyi-sembunyi di malam gelap, kembali sebagai panglima,  memimpin puluhan ribu prajurit yang berbaris rapi menyandang busur. Para  pembesar Quraisy yang selama itu angkuh, sombong, dan sok kuasa, semua  datang kepadanya dengan kepala tunduk, ketakutan, dan cemas. Mereka  memelas minta dikasihani. “Hukuman apakah yang akan Tuan berikan kepada  kami?”
Dengan nada lembut, Nabi menjawab, “Pulanglah, Tuan-tuan bebas!”
Suraqah  juga ingin menggunakan kesempatan itu untuk menghadap Rasulullah,  hendak menyatakan imannya dan tak lupa membawa tulang yang bertulis  janji Rasul kepadanya sepuluh tahun lalu. “Saya menghadap beliau ketika  berada di perkemahan pasukan berkuda orang-orang Anshar. Mereka  menghalangiku dan memukulku dengan tombak,” kenangnya.
“Berhenti, berhenti… Mau ke mana kamu?” mereka mencegah.
“Tetapi  saya tidak peduli, dan terus menyeruak, hingga berdiri di depan beliau,  yang sedang duduk di atas pelana unta. Lalu kuangkat tulang bertulis  janji beliau. ‘Ya Rasulullah, saya suraqah bin Malik’.”
“Mendekatlah kepadaku,” jawab Rasul. “Hari ini adalah hari menepati janji dan hari perdamaian!”
“Setelah berhadapan dengan beliau, saya menyatakan iman dan Islam kepadanya.”
Peristiwa  itu hanya berjarak sembilan bulan dari wafatnya Baginda Rasul. Betapa  sedihnya Suraqah. Wafatnya Rasulullah itu mengingatkan dirinya pada masa  lalunya yang kelam. Tanpa sadar ia mengatakan ucapan Rasulullah  kepadanya – “Bagaimana jika kamu memakai gelang kebesaran Kisra?” – yang  ia yakini pasti akan terjadi.
Suraqah  diberi umur panjang dan menyaksikan kemenangan pasukan Islam di bawah  kepemimpinan Khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khathtab.
Pada  suatu hari menjelang akhir pemerintahan Khalifah Umar, Panglima Sa’ad  bin Abi Waqqash tiba di Madinah. Mereka melaporkan kemenangan yang  dicapai tentara muslimin dan menyerahkan kepada khalifah harta rampasan  yang diperoleh dalam perang di jalan Allah, sabilillah.
Ternyata  harta rampasan itu berupa barang-barang emas, seperti mahkota yang  bertatahkan intan dan mutiara, pakaian kebesaran kerajaan yang bersulam  benang emas bertabur intan permata, gelang, kalung, anting, dan segala  macam perhiasan raja dan pangeran yang sangat mahal, sehingga Khalifah  Umar tampak kebingungan. “Alangkah jujurnya orang-orang yang menyerahkan  semua ini,” ujar Khalifah sambil membolak-balik harta itu dengan  tongkatnya.
Ali  bin Abi Thalib, yang mendengar ucapan itu, menimpali, “Itu semua karena  Anda bersih, sehingga jamaah Anda juga bersih. Tapi bila Anda curang,  mereka akan turut curang.”
Dan  entah kenapa, Khalifah kemudian memanggil Suraqah bin Malik. Kepadanya,  Khalifah memakaikan busana kebesaran Kisra itu lengkap dari mulai  celana, sepatu, pedang, gelang, pakaian kebesaran, dan mahkota, dan  Khalifah sendiri kemudian memujinya. Alangkah hebatnya anak Desa Madlaji  ini.”
Dengan  demikian, terbuktilah ucapan Baginda Nabi kepada Suraqah sepuluh tahun  sebelumnya – “Bagaimana jika suatu waktu kamu memakai gelang kebesaran  Kisra?”
Khalifah  kemudian menengadahkan tangan sambil berdoa, “Ya Allah, aku berlindung  kepada-Mu dari pemberian-Mu ini, agar semua ini tidak mencelakakan aku  dan umat ini.” Setelah itu semua harta rampasan itu dibagikan kepada  kaum muslimin.
